lembahkasih
  puisi internet
 

artikel Anwar Holid : DISKUSI SASTRA INTERNET



 


Hudan Hidayat: Sapardi adalah Pembunuh Terbesar Sastra Indonesia
--Oleh Anwar Holid
Diskusi Sastra Internet dan Masa Depan Sastra pada 31 Januari 2009 saat ulang tahun apresiasi-sastra@yahoogroups.com memunculkan pernyataan kontroversial dan gugatan terhadap media cetak.
grup milis apresiasi-sastra@yahoogroups.com di PDS HB Jassin berlangsung meriah, akrab, banyak kejutan, menyenangkan, dan berbobot. Acara bertema "Sastra Milik Siapa?" itu berlangsung singkat-singkat, tapi berkesan. Yang pali
JAKARTA - Acara ultah ng mengesankan--dan berlangsung paling lama--boleh jadi diskusi Sastra Internet dan Masa Depan Sastra, bersama para pembicara yang telah lama bergelut dengan media tersebut, ialah Enda Nasution, Saut Situmorang, Nuruddin Asyhadie, ditambah Hudan Hidayat, dimoderatori Agus Noor.

Diskusi puncak itu penuh dengan gugatan, terutama dari Hudan dan Saut. Enda memberi siasat bagaimana agar sastra di Internet bisa memanfaatkan kekuatan yang mereka miliki dan justru tak terdapat pada media cetak, salah satunya ialah immediacy (kekinian), yang bersifat langsung, tanpa jeda dan ada link yang memungkinkan setiap hal bertaut. Celetukan Agus Noor menarik dan sering bikin ketawa, membuat diskusi hidup dan setia pada jalur. Sementara uraian Nuruddin Asyhadie terlalu serius untuk forum yang sudah cair oleh acara sebelumnya; dia menerangkan signifikansi sastra di media Internet, meskipun sampai sekarang tampaknya makin mirip dengan sastra cetak. Uraiannya mirip dengan tulisan Eka Kurniawan beberapa bulan lalu, mengusung jargon "code is poetry."

Ajakan Saut Situmorang untuk melawan sastra koran dan menguatkan sastra Internet memang bersemangat dan berapi-api.. Dia bilang, kalau mau menguatkan sastra Internet, penulis (sastrawan) harus berani meninggalkan sastra koran, jangan menulis atau langganan harian. Dia menyatakan sastra Internet sampai sekarang masih belum diakui keberadaannya oleh sejumlah kalangan, terutama kritikus dan para redaksi sastra koran--apalagi 4-5 tahun lalu. Sebagian kritik menilai, sastra Internet ialah tong sampah. Ironik, sekarang para pengkritik itu beberapa di antaranya malah menfaatkan blog dan semacamnya, terutama situs jaringan sosial seperti milis dan Facebook.

Gugatan Hudan Hidayat serius dan bikin telinga pendengar panas. Berkali-kali dia bilang, "Sapardi adalah pembunuh terbesar sastra Indonesia. Termasuk di antaranya Agus R. Sardjono dan Putu Wijaya." Hudan dan Saut secara terbuka menyatakan kecaman terhadap Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, juga Dewan Kesenian Jakarta. Pernyataan keras seperti ini memang butuh klarifikasi atau forum lebih khusus lagi. Bila aku perhatikan dari Internet, pertentangan mereka berlangsung terbuka, terutama terkait persoalan politik sastra. Penyair senior Suparwan G. Parikesit meminta Hudan menjelaskan pernyataannya yang kontrovesial.

Mungkin perlu ada acara semacam "Pengadilan Sastra" untuk polemik yang justru berpotensi kontraproduktif (buruk) terhadap perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan. Tapi di sisi lain, publik sastra butuh orang berani, revolusioner, dan kuat seperti Saut. Aku dengar dia dijuluki "the lone wolf" sastra Indonesia atas sikap dan pendiriannya. Dalam beberapa hal, antara lain keberanian, kehadiran Saut memang bikin rusuh, menggemparkan. Hudan menyemangati peserta agar lebih tangguh berkarya, lebih kuat, biar mampu merebut masa depan sastra Indonesia. Dia menilai bahwa koran masih penting (terutama karena ada faktor kekuatan finansial di sana), tapi jelas memperlihatkan pemihakan kepada sastra Internet. Memang banyak yang mendukung sastra Internet, tapi ranah ini juga masih memiliki persoalan genting, misalnya tentang mutu/isi yang juga harus diperhatikan dan diperbaiki, juga ada kesan bahwa Internet malah menghadirkan fenomena kesekilasan yang melunturkan kedalaman dan perenungan.


Media massa cetak jelas masih memiliki keunggulan, namun sastra Internet juga punya faktor menentukan, misalnya interaktivitas, yang justru mampu melibatkan publik secara lebih intens. Apa persoalan terbesar sastra Internet ialah bahwa media ini masih gagal memenuhi kebutuhan finansial para sastrawan dan pegiatnya? Acara seperti ini melontarkan lagi pikiranku pada diskusi tradisi sastra Indonesia di Jawa Barat. Namun fakta menunjukkan bahwa media kini bukan merupakan persoalan. Makin banyak penulis mampu menulis baik di Internet dan media cetak. Persoalan kini lebih pada ekspresi, aktualitas, dan kedekatan pada media.






Ini adalah daftar dari 13 hal yang nggak mungkin salah satunya pernah
menimpa Anda, entah itu penulis pemula maupun penulis yang udah nggak
pemula lagi

  1. Tidak pernah memberi kabar nasib naskah. Sesuai janji atau
promosi yang sering dilakukan penerbit "naskah akan dinilai dan
dikabari minimal satu bulan sampai tiga bulan", tetapi udah
berbulan-bulan kabar angin pun tidak ada.
  2. Hilang ditelan bumi. Dulu awalnya sering nelpon, eh pas naskah
di tangan sang penanggung jawab hilang ditelan bumi. Jangankan
diangkat telpon, sms atawa email pun nggak di balas. Pas disamperin ke
kantor penerbitnya; bilang nggak adalah, udah pindah lah, inilah...
itulah... Eh, pas ketemu di pameran buku tu orang pasang wajah nggak
berdosa...
  3. Tak jadi terbit walau sudah tanda tangan perjanjian. Ini lebih
menyesakkan lagi, udah tanda tangan perjanjian eh tahu-tahu dikasih
kabar bukunya nggak jadi terbit. Padahal naskah itu sudah setahun
nginep di penerbit. "maaf ya, karena kebijkan akhirnya naskah Anda
kami batalkan terbitnya. Anda boleh kok nawarin ke penerbit lain."
  4. Pesen pepesan kosong. Ada penerbit yang mesen ini dan mesen itu.
Sebagai penulis (apalagi pemula) percaya aja dengan pesen itu. Nah,
setelah naskah jadi, malah nggak tahu kabarnya lagi.
  5. Diplomasi yang bikin basi. "Coba deh Anda tulis dulu naskahnya.
Ntar kita baca." Maka si penulis buatlah naskah itu dengan serius,
berbulan-bulan, menghabiskan modal, tenaga, dan tentu saja pikiran.
Pas jadi, jawabannya "wah, nggak asik nih naskah. Kita tolak." Duh,
kenapa ngga dari awal bilang kalo penerbit nggak bisa janji, tapi
semua akan diberlakukan sama bahwa naskah yang dinilai adalah naskah
yang sudah ada/jadi.
  6. Nggak pernah ngasih laporan. Ini banyak banget penerbit yang
melakukan ini. Buku udah terbit, tapi laporan sekalipun nggak pernah
ada. Jangankan royalti, harapan denger kabar berapa yang terjual pun
nggak pernah.
  7. Terlambat bayar hak penulis. Kalo udah minta naskah, bisa sehari
beberpa kali nelpon. Kalo minta revisi, SMS pasti nyerang terus. Eh,
pas ditagih pembayarannya... bilangnya tar sok - tar sok...
  8. Laporan ganda yang bayarnya kecil aja. Ini soal kejujuran
laporan penjualan penerbit. Penulis kadang dibohongi dengan penjualan
resmi, mereka hanya dapat penjualan fiktif yang jelas-jelas serapannya
kecil dan dampaknya royalti yang diterima pun kecil banget.
  9. Yang tak jelas nasibnya. Buku sudah dicetak, sudah ada di pasar,
sudah bertahun-tahun berlalu tapi tetap saja ada yang nggak jelas
nasib buku itu selanjutnya. Tidak pernah ngasih kabar bagaimana
kelanjutan kerjasama soal buku itu. Eh, tahunya denger kabar
perusahaannya udah bangkrut, eh tahunya udah ganti nama penerbit, eh
tahunya udah ganti kepemilikan, namun tetep saja nasib penulis nggak
pernah dikasih kabar apapun.
  10. Dipimpong melulu. Mungkin memang haknya menanya soal naskah, dan
ansibnya tapi selalu aja jadi bulan-bulanan di pimpong. Hari ini nanya
kepada si A dikasih tahu "tanya si B". Besok nanya si B eh dibilang
"wah itu urusan si C"... sampai pada "eh, maaf si A kemarin udah
pindah kerja, jadi naskahnya kita baca lagi". Deziiiiiiiiiiggg
  11. Penulis dikenai kewajiban menjual beberapa ratus eks buku dan
itu sudah menjadi kewajiban penulis. Nah lo, susah ngomong deh...
  12. Bermain-main dengan surat perjanjian. Misalnya aja nih ya
"Royalti akan dibayarkan kalo buku sudah kejual sebanyak 100 eks".
Bayangkan kalo selama 2 tahun buku yang kejual cuma 99 eks aja...
sampai kapan juga tu royalti nggak bakal nongol Ini baru satu pasal,
belum pasal yang lain.... soal pajak buku yang dibebankan ke penulis,
soal hak melihat prof awal sebelum dicetak, soal jumlah pembayaran,
soal... soal...
  13. Tidak pernah membayar royalti dan hak naskah. Ini udah jelas,
nggak perlu diperjelas lagi.
 
   
 
lembahkasih

TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANYA.


KEMBALI KE ATAS


This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free